Kebijakan Kelembagaan Pertanian

Salah satu arti lembaga dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah: “pola perilaku manusia yang mapan. Terdiri atas interaksi sosial berstruktur di suatu kerangka nilai yang relevan sedangkan kelembagaan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan lembaga. Definisi lembaga mencakup konsep pola perilaku sosial yang sudah mengakar dan berlangsung terus menerus atau berulang. Dalam hal ini sangat penting diperhatikan bahwa perilaku sosial tidak membatasi lembaga pada peraturan yang mengatur perilaku tersebut atau mewajibkan orang atau organisasi untuk harus berpikir positif ke arah norma-norma yang menjelaskan perilaku mereka tetapi juga pemahaman akan lembaga ini memusatkan perhatian pada pengertian mengapa orang berprilaku atau bertindak sesuai dengan atau bertentangan dengan peraturan yang ada. Yang dimaksud kelembagaan adalah suatu tatanan dan pola hubungan antara anggota masyarakat atau organisasi yang saling mengikat yang dapat menentukan bentuk hubungan antar manusia atau antar organisasi yang diwadahi dalam suatu organisasi atau jaringan dan ditentukan oleh faktor-faktor pembatas dan pengikat berupa norma, kode etik aturan formal maupun informal untuk pengendalian prilaku sosial serta insentif untuk bekerjasama dan mencapai tujuan bersama.

Norma-norma tersebut dapat dibedakan seperti berikut:

1. Cara (usage)

Menunjuk pada suatu bentuk perbuatan seperti cara makan,cara berpakaian dan cara memanen, jika dilanggar hukumannya tidak berat, hanya sekedar celaan dari individu yang dihubunginya.

2. kebiasaan (folkways)

Menunjuk kepada perbuatan yang di ulang-ulang dalam bentuk yang sama,misalnya kebiasaan sebelum panen/sesudah panen ada upacara tertentu,bila dilanggar akan dianggap sebagai penyimpangan terhadap kebiasaan masyarakat tersebut.

3. Tata kelakuan (mores)

merupakan kebiasaan yang diterima norma-norma pengatur. Tata kelakuan sangat penting karena memberikan batas-batas pada perilaku individu dan mengidentifikasi individu dengan kelompoknya dan menjaga solidaritas antar anggota masyarakat.

4. Adat (customs)

Merupakan tata kelakuan yang kekal serta kuat integrasinya dengan pola-pola perilaku masyarakat dan besar kekuatan mengikatnya,seperti adat perkawinan atau kematian. Bila adat istiadat dilanggar, maka sanksinya berwujud suatu penderitaan bagi pelanggarnya.

Lembaga petani sebagai lembaga subsistem yang berada dalam sistem pertanian diawali dengan terjadinya kerjasama antar petani yang sebelumnya sudah menjadi budaya khususnya pada usaha tani komoditas tanaman pangan. Setiap lembaga petani memiliki tugas dan perannya masing-masing. Tetapi dalam menjalankan peran terhadap sistem pertanian (agribisnis), lembaga petani memiliki perbedaan dalam tingkat kemampuan. Berbagai penelitian banyak dilakukan untuk menggali faktor-faktor yang mempengaruhi hal tersebut sebagai dasar penguatan kelembagaan petani (Cahyono,2009).

Dalam komunitas petani, posisi dan fungsi kelembagaan petani adalah bagian dari pranata sosial yang memfasilitasi interaksi sosial dalam suatu komunitas. Upaya pemberdayaan kelembagaan petani dilakukan guna meningkatkan perhatian agar motivasi berusahatani akan lebih memberikan hasil bila memanfaatkan tiga kata kunci utama dalam konteks kelembagaan, yaitu: norma, perilaku serta kondisi dan hubungan sosial. Signifikansi ketiga kunsi tersebut akan dicerminkan dalam perilaku dan tindakan petani, baik dalam tindakan individu maupun dalam tindakan kolektif dan komunal. Setiap keputusan yang diambil selalu akan terkait atau dibatasi oleh norma dan pranata sosial masyarakat petani di lingkungannya. Kondisi tersebut menunjukan bahwa proses pengambilan keputusan dalam masyarakat petani merupakan tindakan berbasis kondisi komunitas (Suradisastra,2008).

Menurut Syahyuti (2007), “Kelembagaan adalah sesuatu yang berada di ”atas petani”, sedangkan “organisasi” berada di level petani, sebagaimana yang dianut kalangan ahli “ekonomi kelembagaan”. Menurut North (2005), institution adalah “the rules of the game”, sedangkan organizations adalah “their entrepreneurs are the players”. Pendapat ini diperkuat oleh Robin (2005), yang berpendapat bahwa “Institutions determine social organization”. Jadi, kelembagaan merupakan wadah tempat organisasi-organisasi hidup”.

Imron (2002) mengatakan bahwa kebijakan menurut Mustopadidjaja adalah keputusan suatu organisasi yang dimaksudkan untuk mengatasi permasalahan tertentu sebagai keputusan atau untuk mencapai tujuan tertentu, berisikan ketentuan-ketentuan yang dapat dijadikan pedoman perilaku dalam (1) pengambilan keputusan lebih lanjut, yang harus dilakukan baik kelompok sasaran ataupun (unit) organisasi pelaksana kebijakan, (2) penerapan atau pelaksanaan dari suatu kebijakan yang telah ditetapkan baik dalam hubungan dengan (unit) organisasi pelaksana maupun dengan kelompok sasaran yang dimaksudkan.

Dari sisi iklim makro, dunia pertanian di Indonesia saat ini berada pada babak baru dengan dikeluarkannya berbagai kebijakan yang tergolong memiliki perspektif mendasar dan luas. Dua di antara kebijakan tersebut adalah pencanangan Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK) 2005-2025 dan telah dikeluarkannya Undang Undang Nomor 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Undang-Undang ini merupakan impian lama kalangan penyuluhan yang sudah diwacanakan semenjak awal tahun 1980-an. Kelahiran UU ini dapat pula mempunyai makna sebagai upaya untuk mewujudkan revitalisasi pertanian arti luas, meliputi pertanian, perikanan dan kehutanan. Pada kedua kebijakan tersebut, permasalahan kelembagaan tetap merupakan bagian yang esensial, baik kelembagaan di tingkat makro maupun di tingkat mikro. Di tingkat makro, satu kelembagaan baru yang akan lahir adalah Badan Koordinasi Penyuluhan sebagai lembaga pemerintah non departemen, yang akan merumuskan secara terperinci tentang metode penyuluhan, strategi penyuluhan, dan kebijakan penyuluhan. Di tingkat mikro, akan dibentuk beberapa lembaga baru, misalnya Pos Penyuluhan Desa dan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan). Departemen Pertanian menargetkan akan membentuk satu Gapoktan di setiap desa khususnya yang berbasiskan pertanian. Ini merupakan satu lembaga andalan baru, meskipun semenjak awal 1990-an Gapoktan telah dikenal. Saat ini, Gapoktan diberi pemaknaan baru, termasuk bentuk dan peran yang baru. Gapoktan menjadi lembaga gerbang (gateway institution) yang menjadi penghubung petani satu desa dengan lembaga-lembaga lain di luarnya. Gapoktan diharapkan berperan untuk fungsi-fungsi pemenuhan permodalan pertanian, pemenuhan sarana produksi, pemasaran produk pertanian, dan termasuk menyediakan berbagai informasi yang dibutuhkan petani.

Pengembangan kelembagaan perlu memperoleh perhatian khusus, karena ia merupakan komponen utama dalam strategi revitalisasi secara keseluruhan. Khusus untuk sektor pertanian, dibutuhkan berbagai kebijakan dan strategi mulai dari kebijakan makro, kebijakan moneter, kebijakan fiskal, kebijakan pengembangan industri, kebijakan perdagangan, pemasaran, dan kerjasama internasional. Serta kebijakan mikro berupa kebijakan pengembangan infrastruktur, kebijakan pengembangan kelembagaan (termasuk di dalamnya lembaga keuangan, penelitian dan pengembangan, dan pengembangan organisasi petani). Pada tingkat lokal, pemerintah daerah juga perlu memperhatikan pengembangan infrastuktur pertanian, pengembangan kelembagaan berupa pemberdayaan penyuluh pertanian dan pengembangan instansi lingkup pertanian. Lemahnya kelembagaan pertanian, seperti perkreditan, lembaga input, pemasaran, dan penyuluhan; telah menyebabkan belum dapat menciptakan suasana kondusif untuk pengembangan agroindustri perdesaan. Selain itu, lemahnya kelembagaan ini berakibat pada sistem pertanian tidak efisien, dan keuntungan yang diterima petani relatif rendah (Syahyuti, 2007).

Menurut laporan Deptan (2006), sampai dengan akhir tahun 2006, jumlah kelembagaan petani yang tercatat adalah 293.568 kelompok tani, 1.365 asosiasi tani, 10.527 koperasi tani, dan 272 P4S. Sekarang ini 375 kabupaten/kota atau 86 persen dari total kabupaten/kota mempunyai kelembagaan penyuluhan pertanian dalam bentuk Badan/Kantor/Balai/Sub Dinas/Seksi/UPTD/Kelompok Penyuluh Pertanian. Sisanya, yaitu 61 kabupaten/kota (14 %) bentuk kelembagaannya tidak jelas. Sementara itu di Kecamatan, kelembagaan penyuluhan pertanian yang terdepan yaitu Balai Penyuluhan Pertanian (BPP), pada saat ini dari 5.187 Kecamatan baru terbentuk 3.557 unit (69 %). Selanjutnya

Leave a Reply

Your email address will not be published.